Minggu, 02 Februari 2014

Oka Art Project


            Oka Art Project (OAP) adalah sebuah organisasi seni berbasis proyek dimulai sejak tahun 2011, suatu proyek seni yang digagas atas prakarsa Oka Astawa sebagai ruang penciptaan dan presentasi proses kreatif, yang akan dan telah dijalani oleh perupa muda I Gede Oka Astawa, yang memfokuskan pada membangun jaringan komunikasi kreatif antara seniman muda dan publik seninya. OAP  berkolaborasi dengan lembaga dan institusi seni lainnya untuk menyelenggarakan berbagai macam pameran, publikasi dan forum diskusi. semua kegiatan yang dilakukan guna mempromosikan dan meng-komunikasikan kegiatan dan berbagai macam kecenderungan yang terjadi dalam proses kesenimanan Oka Astawa. Pada awalnya diciptakan sebagai sebuah wadah penyampaian gagasan pribadi Oka Astawa dan telah berkerja sama dengan pelaku seni secara perorangan maupun organisasi-organisasi seni dalam merancang dan menyelenggarakan berbagai macam kegiatan kesenian. Pada tahun 2011 Oka Art Project dimulai dengan pembuatan stensilan diberbagai sudut kota Yogyakata. Pada tahun 2011 Oka Art Project berkerjasama dengan komunitas seni seperti komunitas Tangan Reget (TR), Titik Lenyap (TL), dan Tempat Kencink (TK) untuk membuat karya kolaborasi dalam pameran tunggal "Menjawab Kegelisahan" Oka Astwa. Pada tahun 2012 OAP berkerjasama dengan komunitas Tempat Kencink membuat pameran kolaborasi “Hydro Pirates” di Galang Kangin Art Space Bali yang diikuti oleh anggota komunitas Tempat Kencink dan perupa muda Bali. Ditahun 2012 berkerjasama dengan kurator muda Hendra Himawan mendirikan forum diskusi WASH (Weekly Art Sharing) Yogyakarta, WASH adalah satu forum diskusi, ruang presentasi proses kreatif  perupa muda  Yogyakarta. Kegiatan yang dilakukan oleh WASH adalah pameran mandiri, presentasi karya dan diskusi, dengan mengambil tempat di studio-studio seniman, ruang-ruang kumpul komunitas, kampus-kampus sebagai ruang gerak, untuk mendekatkan proses penciptaan karya seni dengan audiens dan publik seni yang lebih luas. WASH berorientasi kepada pendokumentasian proses kreatif, mengembangkan ruang-ruang diskusi dan proses penciptaan karya baru, serta pembangunan jaringan kerja kesenian atara perupa muda Yogyakarta. Ditahun 2014  Oka Art Project dengan sangat antusias kembali meluncurkan inisiatif  baru yang disebut I+DIALOG+I, sebuah proyek seni yang digagas dalam rangka pameran Tunggal Oka Astawa pada bulan maret 2014 di Taman Budaya Yogyakarta, adapun acara pendukungnya antara lain: -Diskusi Seni dan pemutaran video dokumenter wawancara Oka Astawa dengan seniman Made Wianta, Pande Gede Supada, dan Nyoman Erawan di UPT Galery ISI Yogyakarta. -Diskusi Seni “Jejaring Komunitas” bersama Komunitas Kukomikan, Tangan Reget, Giginyala, dan Perupa Indonesia Timur di Kersan Art Studio Yogyakarta. -Pameran Instalasi dan performing art kolaborasi dengan komunitas-komunitas seni Yogyakarta. -Diskusi Seni “Ketika Orang Bali Merantau”, pembicara Entang Wiharso, Gede Arya Sucitra. S.Sn. M.A. dan Gede Oka Astawa

                    Kegiatan yang dilakukan oleh Oka Art Project dikonstribusikan kepada berbagai macam bentuk kegiatan seni yang dilakukan I Gede Oka Astawa dan membuka diri kepada berbagai pihak untuk berkerja sama.


 Salam Hangat
 I Gede Oka Astawa


I+dialog+I : ‘ apa dan bagai mana seni rupa saya’!

Setiap seniman mempunyai tarikan tersendiri dengan lingkungannya. Sebagai bagian dari masyarakat dengan akar tradisi yang ketat, Oka Astawa tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan norma yang telah dibebankan sejak lahir. Pergulatannya sebagai seniman muda dalam ruang kultural masyarakat asal, menuntunnya pada dua kutub persoalan : antara ‘subjektivitas diri’ dan ‘tuntutan adat’. Tarik menarik keduanya kemudian membawanya dalam persoalan bagaimana menjadi ‘seniman hari ini’.Ketika persoalan sikap mental yang menjadi landasan lahirnya idealism seniman dihadap-hadapkan pada tuntutan sebagai anak tunggal yang harus kembali kedaerah asal untuk menunaikan kewajiban adat.
Pergulatan inilah yang kemudian membawa pemikiran Oka untuk mengkaji apa dan bagaimana sikap mental dari seniman itu seharusnya diasah dan diperjuangkan. Ini memang pertanyaan yang bisa jadi sangat subjektif, namun apa yang ditawarkan oleh Oka sesungguhnya menguji para penatap tentang seberapa penting ideologi yang dimiliki oleh seniman.
Andaikata wacana seni yang bergulir menyatakan bahwa tidak ada karya seni yang tidak politis, dalam arti- ia merupakan bagian dari sistem wacana yang lebih besar, bersifat responsive (kausalitas) dan menjadi satu tawaran perspektif dari sebuah fenomena, dan mempunyai tujuan tertentu, lantas apakah kemudian kita abai dengan ideologi yang melatar belakangi lahirnya ‘seni’ itutadi?
Tentu setiap karya seni tidak semata-mata tercipta karena komposisi desain elementer semata, namun ada nilai-nilai yang diperjuangkan didalamnya.Kontekstualitas menjadi kanon utama dalam seni rupa kontemporer hari ini.Setiap seniman menghadirkan konsep kekaryaannya sebagai bagian dari keberpihakan dirinya atas fenomena yang ada.Setiap bahasa visual yang tercipta, setiap aktivitas seni muncul tentu bukan tanpa substansi ideologi, tersemat nyata ataupun samar-samar, inilah sejatinya yang diperjuangkan oleh setiap seniman, jauh melampaui eksistensi atau keterbutuhan materi.
Hal inilah yang setidaknya menjadi lontaran dialog yang ingin sampaikan oleh Oka Astawa melalui aktivitas seninya : OKA ART PROJECT 2014.  Mencari ‘diri’ sekiranya adalah kata kunci yang dapat menuntun setiap individu yang terlibat dalam project ini, untuk terus bertanya pada diri, melakukan otokritik dan mungkin koreksi atas definisi ‘ apa dan bagaimana seni rupa saya’!

Hendra Himawan
Kurator

Minggu, 29 Mei 2011

Ada persembahan dibulan 12-12-2011


KONSEP KURATORIAL PAMERAN
“MENJAWAB KEGELISAHAN”  GEDE OKA ASTAWA
Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. 12 Desember 2011

Gagasan dari pameran ini adalah rekaman potret perjalanan dan proses kreatif yang dilakukan oleh Gede Oka Astawa (Oka), dalam rentang perjalanan berkeseniannya. Meski masih terbilang muda, namun proses kreatif yang dilakukan olehnya terbilang unik dan mempunyai  progresitas  kekaryaan yang menarik. Mulai dari tema-tema karya yang diusung, visualitas karya, hingga kerja teknis  yang eksploratif. Maka, ‘catatan proses kreatif’ menjadi konsep dasar yang dipilih sebagai bingkai kuratorial pameran tunggal ini. Gagasan ini dipilih untuk menunjukkan kepada publik sebuah proses dialektika penciptaan yang segar dengan kerja-kerja eksperimental seni yang terus tanpa putus. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai perupa muda yang kritis. Meski masih muda ia terus berusaha untuk membangun kesadaran kritis atas proses kreatif yang dilakukannya sendiri, sebuah upaya yang ‘jarang’ dilakukan bagi seniman muda yang kebanyakan dituntut kerja praktek sebanyak-banyaknya oleh lingkungannya.
Dengan konsep ini, diharapkan publik mampu memahami, mencatatat dan melakukan pembacaan atas beragam faktor yang turut mempengaruhi laku kesenian Gede Oka Astawa. Mulai dari latar belakang sosial yang menuntunnya meyakini kesenian sebagai jalan hidup, berikut latar belakang kultural yang mempengaruhi gagasan keseniannya. Kedua, dunia akademis yang memberikan kontribusi penting dalam membangun pemahaman dan intelektualitasnya akan seni  rupa dengan segenap problematikanya. Ketiga, fakta-fakta sosial yang dijumpai selama di Bali dan Yogyakarta, berikut tegangan dan gesekan yang seringkali di terimanya dari kawan, perupa senior, dan lingkungan keseniannya. Beragam faktor ini menjadi penting untuk dipresentasikan kepada publik, sebab senyatanya faktor-faktor ini memberikan pengaruh yang besar bagi Oka untuk membangun model dan strategi berkeseniannya.
Konsep pameran ini akan menunjukkan bagaimana perupa muda ini melakukan identifikasi diri dalam memahami segudang pertanyaan tentang apa itu ‘seni dan kesenian’, di mana dengannya ia akan meretas pemahaman akan ‘identitas kesenimanan’. Tajuk pameran “Menjawab Kegelisahan” yang diusung, menjadi brand  yang dipilih untuk mengantarkan kita dan publik melihat dan mencermati bagaimana perupa muda ini mengukur dan menilai setiap proses kreatif yang yang dilakukannya. Ibarat sebuah refleksi, tajuk ini menjadi satu bentuk kritik diri atas prinsip, idealisme serta praktek keseniannya sendiri. Representasi dari sebuah proses kreatif yang masih terus berjalan, sebagai satu “jawaban kegelisahan“ yang menjadi kunci dari ribuan pertanyaan yang akan terus bermunculan. (Hendra Himawan, kurator).

INFO LEBIH LENGKAP LIHAT DIBAWAH INI

Kamis, 17 Februari 2011

"LOVE OF DIARY" Bentara Budaya Yogyakarta,14 februhari 2011

ADA CINTA DI BENTARA

Tampaknya tidak mau melupakan valentine, perupa dari Bali dan beberapa perup[a lainnya, menyelnggarakan satu pameran di Bentara Budaya Yogyakarta Senin (14/2) lalu dengan menghadirkan tema ‘Love of Diary’. Warna cinta, warna pink, mendominasi ruang pameran Bentara Budaya, sehingga seolah di Bentara (sedang) ada cinta, setidaknya sampai 22 Februari 2011, nuansa cinta ditebar di Bentara Budaya.
Pintu masuk Bentara Budaya Yogyakarta, yang biasanya terlihat daun pintunya berupa kayu. Untuk valentine ini dibungkus kain warna pink, sehingga dari pintu masuk, atau setidaknya dari luar gedung Bentara Budaya, aroma cinta sudah bisa mulai dihirup. Bentara seperti ruang yang romantis, penuh cinta. Semua karya menghadirkan warna pink, yang katanya warna cinta.
ADA CINTA DI BENTARASebagai sesuatu yang abstrak, cinta sangat dekat dengan kehidupan\ manusia. Bahkan bisa dikatakan, kehidupan manusia dipenuhi oleh cinta. Tanpa ada cinta, kehidupan manusia seperti tumbuhan yang hidup ditanah kering. Simbol-simbol hati, atau yang sering diucapkan sebagai ‘heart’ bertebaran di ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta. Seolah hendak menyapa pada publik yang menikmati ‘Love of Diary’.
Dalam ruang pamer terdapat karya sebuah jalan lurus yang menjulang mengarah ke atas hingga akhirnya bermuara di AC yang ada di ruang pamer itu,dalam tepian jalan,terlihat palet-palet perjejer seolah dideformasikan sebagai pohon penyejuk perjalanan,karya instalasi yang merespon ruangan itu merupakan karya
I Gede Oka Astawa yang berjudul"fenetrasi cinta"
dalam karyanya oka astawa dengan dunia seni yang ditekuninya seolah sedang melakukan perjalanan kecintaan yang amat jauh untuk mendapatkan kenyamanan dan kesejukan cinta. Cinta di sini adalah tidak lain cinta kepada dunia seni. Saya jelas cinta dengan dunia seni,saya ingin selalu menciptakan karya seni untuk menyalurkan ekspresi saya,dalam kata lain saya perlu berfenetrasi supaya suatu saat nanti mimpi saya dapat tercapai yang jauh disana,jalan ini harus saya lewati, langkah demi langka saya lakukan dalam perjalana ini,saya sadar perjalanan ini masih jauh,ujar seniman muda kelahiran Pangkung tibah ini dengan semangat.

Karya instalasi Gede Oka Astawa yang berjudul "FENETRASI CINTA"

‘Love of Diary’ ini terasa unik lantaran suasana cinta ‘dinikmati sekaligus dilihat’. Penyelenggara pameran dan para perupa yang ikut pameran, seperti ‘berlomba’ mengekspresikan suasana romantik penuh cinta, dan warna yang dipilih semuanya sama: pink.
Mungkin akan muncul pertanyaan: Apakah warna cinta hanya pink? Apa tidak ada warna lain? Atau, ‘konsensus’ selama ini warna pink diterima sebagai warna cinta. Bagaimana dengan bunga mawar merah, apakah bukan warna cinta? Karena seringkali ditemukan, untuk mengungkapkan rasa cinta dengan memberikan bunga mawar. Dan warna bunga mawar ada dua, ialah putih dan merah.
                                                             
          Ibu Tita Rubi dan Gede Oka Astawa berfoto bersama dengan karya oka astawa"fenetrasi cinta"
Atau mungkin karena valentin, sehingga identik dengan pink?
Semua perupa seperti (telah) bersepakat, untuk menyampaikan dan menebarrkan ‘Love of Diary’ dengan warna pink yang dipilih. Maka, warna pink memenuhi ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta.
Agaknya, ketika para perupa sedang berproses untuk menghasilkan karya untuk ‘Love of Diary’ hatinya berwarna pink.

Pameran "INTERAKSI",Mata Angin dan Nine,Taman Budaya Bali,2011

Anggota Mata Angin dan Nine dalam pembukaan pameran " INTERAKSI "

Suatu paradikma yang terjadi merupakan landasan atau pijakan untuk memunculkan ide atau gagasan dalam mewujudkan suatu bentuk estetik untuk dinikmati dan dapat memberikan input penikmat seni dan dapat mengexsplorasikan gejolak perasaan bagi perupa.Itu yang sedang dialami oleh kelompok Mata Angin dan kelompik Nine yang di dalamnya mempunyai intusi yang berbeda mengenai gejolak perasaan estetiknya yang menurut mereka sebuah upaya pengxeksplorasikan dari proses yang mereka lalui selama menempuh pendidikan seni di ISI Yogyakarta pesan yang ditampilkan lewat karya-karya mereka adalah upaya perwujudan dari kegelisahan mereka tentang makna dari atas kajian expresi dari realitas yang mereka tangkap dalam tata karya lalu dijadikan subyek matter dalam mewujudkan konteksnya masing-masing Interaksi di sini dimaksudkan azas idealis mengenai identitas pikiran dan keberadaan kekongkritan diefektifkan kritik skematisme dan pormalisme yang banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan seperti itu pula,suatu kritik sosial yang benarkonstetusi dengan menunjukan kandungan konstradiksi dari situlah persyaratan bahwa kritik harus memiliki sesuatu watak yang kongret yang di kontribusikan kekalayak pencinta dan penikmat karena pengalaman muncul dan berkembang seiring dengan menemukan identitas untuk menjadikan mereka mencapai kematangan dalam berolah visual dapat mereka wujudkan dalam pameran mereka pada kesempatan kali ini dalam tajuk interaksi.

Nyoman Erawan (kiri), Hardiman (tengah),I Gede Oka Astawa (kanan) berfoto bersama di depan salah satu karya oka astawa yang bejudul "hijau dizaman sekarang"


Sambutan Bapak Hardiman dalam pembukaan pameran "INTERAKSI"

Sabtu, 22 Januari 2011

Kelompok Tanah "MENENDANG IMPIAN",Kersan Art Studio

Desember 30th, 2010 | 13:41

Bob "Sick" Yudhita Agung (tengah) berpose bersama di depan karya Gede Oka yang berjudul “Cinta Untuk Seni”, I Gede Oka Astawa (kiri) dan Aji tejo wahyu (kanan) saat pembukaan Pameran Seni Rupa "Menendang Impian" Kelompok Tanah di Kersan Art Studio Yogyakarta, Selasa (28/12).
“Semangat kelompok  tanah  perlu terus dijaga, dilanjutkan dan digali. Semoga impian ini bukan batu tapi gula yang kita bidik pada sasaran yang tepat. Paling tidak bisa nendang entah ke gawang lawan atau atau gawang sendiri”.
Demikian sambutan yang disampaikan Bob “Sick” Yudhita Agung dalam pembukaan Pameran Seni Rupa Kelompok Tanah berjudul “Menendang Impian” di Kersan Art Studio Yogyakarta, Selasa (28/12) yang akan diselenggarakan hingga Minggu (16/1/2011).
Pameran “Menendang Impian” menjadi pameran perdana Kelompok Tanah yang berisi mahasiswa semester III Jurusan Seni Rupa Fakultas Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta. Mereka adalah Aji Tejo Wahyu, Fitto Anugrah, Fandy Akbar Dewa Perdana, I Gede Oka Astawa, Jihan Narantaka, M. Syarif Hidayatullah.
Salah satu anggota sekaligus ketua Kelompok Tanah I Gede Oka Astawa mengatakan pameran yang diselenggarakan ini dilakukan untuk memperkenalkan Kelompok Tanah kepada masyarakat Yogyakarta. Ke depan akan memperkenalkan kepada masyarakat luar Yogyakarta.
“Tidak hanya di Yogyakarta,Ke depan kita juga  ingin  memperkenalkan Kelompok Tanah kepada masyarakat luar Yogyakarta,” kata seniman muda kelahiran Pangkuh Tibah, Tabanan, Bali ini.
Kelompok Tanah memamerkan  11 karya lukis dan instalasi terbaru yang mereka ciptakan. I Gede  Oka Astawa misalnya menciptakan karya Instalasi dari besi, triplek serta akrilik pada kanvas. Salah satu karyanya berjudul “ Cinta Untuk Seni” seperti menjadi representasi I Gede Oka Astawa terhadap kecintaannya pada dunia seni rupa sehingga ia harus jauh-jauh dari Bali datang ke Yogyakarta untuk sekolah seni.
“ Saya jelas cinta kepada seni, inginnnya berkarya lewat seni. Dengan cinta kepada seni atau apapun propesi kita, kemungkinan beser kita akan menemuka jalan untuk meraih kesukses kalau kita setengah jalan atau kurangnya total dalam mencintai pekerjaan kita, kemungkinan  kita akan menemukan kegagal, Karena untuk meraih kesuksesan mebutuhkan perjuangan,semangat,kerja keras,totalitas dan lain sebagainya” kata Gede.
Sukses juga menjadi pemikiran M. Syarif Hidayatullah, anggota Kelompok Tanah yang lain. Dalam karya lukis abstrak akrilik pada kanvas berjudul “Sukses”, Syarif yang kelahiran Lombok Nusa Tenggara Barat ini tentu mewakili harapan semua seniman bahwa karir berkesenian mereka akan memperoleh kesuksesan.
Betapapun sebenarnya kesuksesan memerlukan semangat (spirit) untuk mencapainya. Kelompok Tanah pun sebenarnya sudah memahami hal itu seperti yang ditunjukkan dalam lukisan akrilik pada kanvas Fittoh Anugrah berjudul “Spirit 06”.
Persis seperti yang dikatakan Bob “Sick” Yudhita Agung diatas, bahwa diperlukan cara membidik yang benar untuk mengenai sasaran yang tepat. Karya surealis “Spirit 06” menampilkan sosok orang yang sedang membidik dengan anak panah ditangannya.
I Gede Arya Sucitra yang tak lain adalah pengajar anggota Kelompok Tanah di Jurusan Seni Rupa memberi catatan cukup dalam. Pameran “Menendang Impian” ini menurut Sucitra berpijak pada utopia diri anggota Kelompok Tanah terhadap ketersinggungan mereka terhadap realitas disekitar mereka.
“Artinya karya mereka dalam pameran ini adalah gambaran mental mengenai hal-hal menggoda untuk diekspresikan,” kata Sucitra.
Sucitra sangat berharap Kelompok Tanah melakukan gerakan memimpikan sesuatu dan menampilkannya dengan konsep tertentu berupa wacana, visual yang merefleksikan ideologi bersama sehingga mereka memunculkan wacana ke arah tertentu.
“Ini Gerakan perdana mereka yang sedang merajut benang-benang realitas yang diintimidasi oleh mimpi. Setidaknya mereka memiliki kesadaran bahwa berkelompok adalah salah satu media efektif saling mengenal, membuka jaringan baru, ruang mental rupa serta diskusi dan pengelolaan kelemahan dan kekuatan diri,” terang Sucitra.(Jogjanews.com/joe)
Salah satu peserta pameran "Menendang Impian" Kelompok Tanah yang diketua oleh I Gede Oka Astawa merupakan pameran perdana kelompok tanah.Setelah menunggu 5 bulan, akhirnya pada tanggal 28 Desember 2010 pameran pertama kelompok tanah dapat terselenggara, dengan tema pameran Menendang Impian.
Di dalam sebuah kehidupan tentunya ada mimpi-mimpi  yang  mewarnai perjalanan hidupan kita. Kehidupan ibaratkan sebuah mimpi yang tidak pernah kita ketahui akan seperti apa mimpi atau kehidupan kita nantinya,Setidaknya kita mempunyai bayangan mimpi atau kehidupan kita mau seperti apa nantinya. Dengan mempunyai mimpin kita sudah tahu apa yang mesti kita lakukan untuk segera mengambil tindakan agar mimpi itu dapat kita capai. Kelompok tanah saya ibaratkan sebagai salahsatu wadah untuk mewujudkan impian dan diwadah ini kita menanam rasa,rasa persaudaraan,kekeluargaan,saling memberi semangat,mempunyai rasa ingin tahu lebih dalam tentang dunia seni dan masih banyak rasa-rasa lain yang kita miliki maupun yang  belum dimiliki mesti kita tanamkan dalam diri untuk kehidupan kedepan. Menendang impian  sebuah ambisi ,sebuah harapan ,sebuah cara dimana sebuah impian mesti kita kejar,kontrol dan kendalikan. Impian bagian dari hidup maka dari itu impian selalu menghiasi dan memacu kita dalam menjalani kehidupan ini. Menendang impian berarti menjauhkan mimpi sejauh-jahuhnya agar bisa kita kejar dan kita terus bisa berlari,dalam pengejaran mimpi secara tidak langsung  tentunya kita akan menenmukan apa yang ada diluar sana ,baik rintangan  maupun hal yang menarik yang selama ini belum pernah kita alami. Menendang impian  sejauh-jauhnya memberikan energi  fositip dalam menjalani kehidupan di dunia yang begitu singkat,disini kita dituntut menghargai waktu,menghargai kesempatan yang ada untuk terus berlari mencari impian kita yang jauh di sana. Impian itu seperti bermain bola selalu berharap akan terjadinya gool,cara untuk menciptakan gol yaitu menendang,kontrol,memainkan,tahu dimana saatnya bertahan dan keluar menyerang. Dunia impian adalah dunia yang tiada batas yang amat luas untuk menggapainya perlu waktu panjang dan menemukan hal-hal yang tidak kita duga dan tidak kita pahami sebelumnya. Jadi jangan takut berbimpi karena mimpi dipermainkan untuk diwujudkan. Ini adalah konsep pameran Menendang Impian yang ditulis oleh ketua kelompok Tanah I Gede Oka Astawa mewakili dari pemikiran-pemikiran anggota kelompok tanah lainya yang disatukan menjadi satu konsep menendang impian.
 Ketua kelompok Tanah I Gede Oka Astawa sedang memberi sanbutan  dalam pembukaan pameran "menendang impian" di Kersan Art Studio.

Bob Sick(tengah) dan kelompok Tanah, syarif, gede oka, tejo,fandi dan fitto sedang berfoto bersama di depan karya oka astawa yang berjudul Cinta Untuk Seni.


I Gede Oka Astawa sedang berfoto bersama karyanya yang berjudul "Berikan Kesegaran" salah satu       karyanya yang dipamerkan di Kersa Art Studio dalam pembukaan pameran kelompok tanah.



 

Minggu, 16 Januari 2011

Pameran "GAME-ART", oleh Kelompok DAKSINA 08 dan Kelompok MATA ANGIN 09, Museum Bali. 30 januari 2010

Darah muda kreativitas harus selau bergejolak. Mengawali dengan membentuk kelompok seni rupa dalam satu angatan sebagai upaya untuk saling mendukung dan kritik apresiatif atas pencapaian karya terkini. Mengelola kebebasan estetika di ruang pamer sekaligus harus bergulat dengan berbagai macam ketentuan teknis tugas-tugas kampus. Dua dunia yang berbeda pijakan, kampus menekankan pada pencapaian medium penciptaan yang variatifserta pendalaman teori, sedangkan di luar kampus, memberi zona kebebasan ekpresi sesuwai dengan kebutuhan wacana dan kemampuan personal. Karya kampus dinilai dosen, karya di luar kampus dinilai publik. Dua hal yang memeng harus sama-sama maksimal dan bertanggung jawab.
Demikian awal sambutan I Gede Arya Sucitra dalam katalog pameran Game-Art yang diadakan oleh kelompok Daksina 08 dan Kelompok Mata Angin 09 yang bertempat di Museum Bali Puputan Badung.
Salah satu perserta dan ketua kelompok Mata Angin sekaligus ketua panitia pameran Game-Art I Gede Oka Astawa tampil dengan karya yang berjudul"Memainkan vs Dipermainkan". Perpaduan karakter objek yang realis dengan cipratan cat yang kuat dilakoni sebagai media ekspresi. Ia sedang menanyakan dirinya sendiri apakah aku dipermainkan atau sang pemain? Pada era tahun 1990-an,karakteristik artistik energi cipratan cat pada karya-karya perupa bali sangat kuat dan melegenda, hingga kesan-kesan cipratan cat yang kuat,ekspresif, liar, diasosiasikan menjadi sebentuk cita rasa artistik karya-karya perupa Bali pada era tersebut.

Salah satu karya I Gede Oka Astawa yang dipamerkan dalam pameran Game-Art.

Karya ini merupakan karya pertama Oka Astawa selama kuliah di ISI Yogyakarta pada semester 1.












I Gede Oka Astawa dan karyanya yang berjudul
"Memainkan vs Dipermainkan"
                                                                              
 

  Oka Atawa sedang menjelaskan karya-karya yang dipamerkan pada pengunjung.     
            
 


Jumat, 14 Januari 2011

INTERNATIONAL PAINTING COMPETITION JAKARTA ART AWARD 2010 "REFLECTION OF MAGACITIES",North Art Space Jakarta

JAKARTA ART AWARD 2010 "Aspek-Aspek Kota Besar"
Jakarta art award merupakan kompetisi seni lukis yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali. Ini adalah perhelatan Jakarta Art Award ke-3, setelah sukses dengan Jakarta Art Awards 2006 dan 2008.
Dalam pristiwa kompetisi Jakarta Art Award (JAA) 2010,yang diselenggarakan oleh PT. Pembangunan Jaya Ancol bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menyodorkan tema yang terkait dengan kehidupan atau aspek-aspek kota besar, untuk kemudian ditawarkan kepada para perupa yang mengkhususkan diri dengan idiom dua dimensi. Memang secara spesifikpenggagas dan panitia JAA, sejak awal selalu menyertakan seni lukis sebagai persyaratan. Hal ini tentu dirasakan membatasi,tetapi juga seharusnya menjadi tantangan bagi para perupa untuk mengartikulasi dan menjelajahi lebih jauh konsep-konsep seni lukis yang lebih maju.
Persyaratan lain adalah pembatasan umur yang sangat lebar, mulai dari minimal 15 tahun dan tak terbatas maksimal umur. Sehigga JAA bisa diikuti dengan lingkup generasi yang luas, mulai dari pelajar, mahasiswa,hingga lanjut usia. Kesempatan ini tentu langka, tetapi juga menjadi persoalan tersendiri karena dalam prakteknya, seni membutuhkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman praktek tersendiri. Bagaimanapun akan menjadi kendala serius bagi para perupa atau pemula yang tidak banyak mengetahui perkembangan saat ini. Hal ini tentunya akan berhadapan dengan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman para juri yang notabene adalah para pratisi seni rupa seperti : perupa, kurator, kritikus, kolektor dan pencinta seni yang telah malang melintang dalam dunia seni rupa di indonesia.
Ada beberapa tahap dalam penjurian  JAA 2010. Pertama memilih karya–karya melalui citra foto yang memang telah ditetapkan panitia. Walaupun tentu tidak mencerminkan kualitas kasya sebenarnya, namun melalui teknologi foto, juri dapat melihat elemen rupa secara umum, memilahnya berdasarkan kualitas teknis, dan pemilihan tema-tema yang menyangkut kota besar yang menarik.
Dari 83 Nominator yang lolos seleksi ada beberapa nominator yang masih menuntut ilmu di bangku kuliah,salah satunya adalah I Gede Oka Astawa ( umur 21 tahun) yang baru semerser 3 di FSR ISI Yogyakarta angkatan 2009. Jakarta Art Award 2010 adalah event pertama yang Oka Astawa ikuti selama kuliah di ISI Yogyakarta. I Gede Oka Astawa salah satu dari 83 nominator yang lolos seleksi menyisihkan 752-an seniman peserta yang memasukan proposal dengan jumlah karya yang masuk mencapai sekitar 2400 karya yang masuk dalam catatan panitia.

 
Gede Oka Astawa dengan karyanya berjudul"Salah Sasaran"



karya Gede Oka Astawa  berjudul "Salah Sasara"
       Nominator Jakarta Art Award 2010



Pengunjung berdiri di depan karya Gede Oka Astawa dalam
pembukaan pameran Jakarta Art Award 2010

Konsep karya" Salah Sasara "

Kebijakan – kebijakan pemerintahan kita kadang kala disalah gunakan dan tidak tepat sasaran dengan kata lain melencengkan dari tujuan awalnya. Subsidi silang salah satunya yang banyak disalah gunakan untuk memperkaya diri ataupun perusahaannya dengan cara merusak hutan digantikan bangunan – bangunan bertingkat. Kebijakan pemerintah yang ngawur memberikan peluang bagi oknum – oknum tertentu melakukan misi yang tak bertanggung jawab . Itulah sekelumit permasalahan yang sering dihadapi di kota – kota besar untuk menjaga kotanya agar tetap nyaman, tenang dan makmur.

http://www.jakartaartawards.com/index.php?mib=lukisan.profile&id=130